Industri Musik Rasa Baru
Oleh Denny MR
Inilah potret buram industri musik kita saat ini. Penjualan fisik album merosot drastis, bisnis digital melejit. Artis pop melayu membanjir dan, lagi-lagi, sebelas orang tewas dalam
sebuah pertunjukan.
Industri musik Indonesia sedang terhuyung-huyung. Dalam tiga tahun terakhir penjualan fisik kaset dan CD memperlihatkan grafik penurunan yang tajam. Selamat tinggal saja cerita band yang mampu menjual album hingga jutaan keping. Fenomena indah itu sekarang tinggal kenangan. Berbagai kenyataan pahit telah merampas lahan mereka. Situasi ekonomi yang tak kunjung menggembirakan, berubahnya perilaku konsumen akibat trend bisnis digital dan, ini yang menjebalkan, ulah pembajak yang semakin menggila.
Ketiga faktor tersebut secara kompak menghajar industri musik tanpa ampun. Perhatikan daftar korbannya. Pada tahun 2005 Ada Band masih mereguk madu royalti dari 1 juta keping hasil penjualan Heaven Of Love. Jumlah tersebut menyusut pada Romantic Rhapsody menjadi 708.000 keping. Padahal album ini sempat melejitkan “Karena Wanita (Ingin Dimengerti)”, sebuah pembelaan terbuka mereka terhadap kaum wanita. Sayang, nasib Ada Band sendiri tak ada yang sanggup membela. “Sekarang dua ratus ribu (keping) aja nggak sampai,” keluh Adam Anugerah, managernya.
Radja sedikit lebih beruntung. Album Hanya Untukmu sanggup merengkuh tiras 500.000 meski jumlah ini tak sampai setengahnya dari 1,3 keping yang pernah dicapai Langkah Baru. Pencapaian yang sama diperoleh Slank untuk Slow But Sure yang beredar sejak Februari 2007. Mereka pernah menembus penjualan 1,2 keping untuk Virus. Fakta memprihatinkan ini masih bisa ditambah dengan nama lain, sebab Hari Yang Cerah dari Peterpan ternyata juga merupakan hari yang buruk bagi mereka jika dibanding album-album sebelumnya yang umumnya laku keras. Begitu pula dengan Penantian Hidup dari Samsons yang secara konsep musikal lebih tergarap namun tetaplah megap-megap.
Isyarat bakal ambruknya kuantitas penjualan fisik album rekaman sudah terlihat sejak 2007. Indikasinya adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Asosiasi Rekaman Indonesia (ASIRI). Pada 2005 jumlah kaset, CD dan VCD yang beredar mencapai 30.032.460 keping. Setahun kemudian menciut jadi 23.736.355 keping. Kini angka itu tergerus lagi hingga tinggal 19.398.208 atau 1,6 juta keping per bulan. Jumlah tersebut masih harus diperebutkan oleh seluruh genre musik yang ada, mulai hip-hop hingga campursari. Bisa dibayangkan betapa sengit persaingan yang berlangsung di pasar.
Indonesia termasuk negara yang tetap mempertahankan kaset sebagai gadget untuk menembus pasar daerah. Padahal baik di daerah mau pun di kota besar ruang geraknya kini sudah dikepung oleh produk bajakan yang merangsek dari mal bergengsi hingga ke mulut gang becek. Kenyataaan ini jelas telah menampar perusahaan rekaman mau pun artis. PT Aquarius Muskindo, misalnya, terpaksa merumahkan sebagian staf produksinya sebagai antisipasi atas kelesuan pasar. “Apalagi yang harus diproduksi? Sekarang jualan susah,” kata Arie Suwardi Widjaya, Direktur A & R. Beruntung label ini masih memiliki artis andalan semisal Melly, Agnes Monica atau Bunga Citra Lestari yang peredaran albumnya termasuk lolos dari krisis.
Lantas kemana larinya para pembeli yang dulu rajin menyerbu gerai-gerai? Saudara, perhatian mereka kini telah direbut oleh produk bajakan yang murah meriah serta melejitnya penjualan digital.
Pembajak? Ya, mereka masih menjadi momok. Kehadirannya seperti halusinasi, bisa dirasakan tetapi sulit dienyahkan. Yang pasti, aktivitasnya amat menyengsarakan. Menggerogoti hak royalti artis dengan keganasan seekor piranha. Sebenarnya upaya pihak Pemerintah tak kurang-kurang dalam memayungi bidang industri yang mampu mendatangkan pajak tak sedikit ini. UU No 19 Hak Cipta telah lebih dari cukup untuk menggantung tikus-tikus itu. Mandulkah pemerintah?